KONTRIBUSI TRENSAINS DALAM
MEMBANGUN PERADABAN ISLAM
Oleh : Abdul Ghofur
Keberhasilan sains Barat dalam memajukan ilmu pengetahuan,
ternyata tidak sebanding dengan manfaat yang diperoleh manusia secara
keseluruhan. Apa yang telah dilakukan saintis Barat, sesungguhnya bukan sekedar
membangun kemajuan teknologi yang dibanggakan. Lebih dari pada itu, para
saintis Barat telah mengantarkan kehidupan manusia pada gerbang kehancuran,
karena dari pencapaian tersebut kehidupan manusia semakin mengalami malapetaka
yang tidak terbantahkan.
Pada tataran yang lebih luas, sebagian saintis
sudah ada yang terbongkar
epistemologinya. Sebagai contoh dapat kita lihat dari tokoh semisal Richard
Tarnas dan Thomas S. Khun. Richard Tarnas menyatakan bahwa sains Barat saat ini
sedang memasuki “krisis global” sebuah krisis yang multidimensional yang
mengakibatkan kehidupan manusia semakin terpuruk. Sains memang telah berhasil
membantu manusia dalam mensejahterakan hidup, akan tetapi akibat yang
ditimbulkan jauh lebih parah dibandingkan dengan kemajuannya.
Sains barat dibangun dengan pondasi ontologi,
aksiologi dan epistemologi yang memang berbeda dengan konsep-konsep islam.
Ontologi sains barat mengacu pada materialisme, aksiologi sains barat hanya
berupa kepuasan petualangan intelektual sang ilmuwan (sains hanya untuk sains), dan epistemologinya
hanya sekedar metodologi ilmiah. Hal ini yang menyebabkan hilangnya nilai religius
dalam sains itu sendiri. Padahal dalam Al
Qur’an terdapat lebih dari 800 ayat sebagai acuan pengembangan sains. Al Qur’an
juga sebagai landasan otologi dan epistemologi pengembangan ilmu pengetahuan
(sains), pada akhirnya sains dalam islam bukan sekedar untuk kepuasan petualangan
intelektual sang ilmuwan, tetapi sains burfungsi sebagai media untuk
mendekatkan diri kepada sang pencipta seiring dengan kajian sains yang didalaminya.
Dengan mengembangkan
sains sebagaimana diatas, mustahil akan terjadi krisis multidimensional yang
mengakibatkan kehidupan manusia semakin terpuruk, bencana kemanusiaan,
kerusakan alam, dan lain sebaginya. Islam adalah agama “Rahmatan Lil Alamin”. Prinsip-prinsip
ajarannya bukan untuk umat islam saja, tetapi untuk seluruh umat termasuk alam semesta didalamnya.
Sains Islam tidak seperti sains barat yang
berusaha mengesampingkan semua masalah yang menyangkut nilai-nilai. Ciri dari
sains Islam berasal dari penekanannya akan kesatuan agama dengan sains,
pengetahuan dengan nilai-nilai, fisika dengan metafisika. Penekanannya pada
keragaman metode dan penggunaan sarana-sarana yang benar untuk meraih cita-cita
yang benar itulah yang memberikan gaya yang khas pada sains Islam, dan
keharmonisan menjadi ciri utamanya.
Islam tidak pernah mengekang umatnya untuk maju
dan modern. Justru Islam sangat mendukung umatnya untuk melakukan research dan
bereksperimen dalam hal apapun, termasuk sains dan teknologi. Hal ini terlihat
dalam Al Qur’an yang telah diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw.“Bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar
(manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya. (QS. Al-Isra: 1-5). Dengan
demikian, konsep epistemologi,
aksiologi, dan ontologi yang ditawarkan islam
bagi pengembangan sains merupakan
jawaban sekaligus solusi bagi krisis
multidimensi yang ditimbulkan oleh sains modern.
Peran Trensains
Trensains merupakan konsep pendidikan yang
tidak menggabungkan materi Pesantren dengan ilmu umum sebagaimana pesantren
modern. Trensains mengambil kekhususan pada pemahaman Al Qur'an, Al Hadist dan
Sains kealaman (natural science) dan pola interaksinya. Poin terakhir, interaksi antara
agama dan sains merupakan materi khas Trensains yang tidak ada pada pesantren
modern.
Konsep pendidikan yang ditawarkan oleh
Trensains merupakan upaya untuk menggali benang kusut pertentangan antara agama
dan sains itu sendiri. Dalam sains modern, hubungan alam dengan tuhan dapat
diibaratkan sebagai jam dengan si pembuat jam, yang berarti tuhan sudah tidak
lagi berperan ketika alam semesta ini tercipta, dalam perkembangan berikutnya justru
sains memperlihatkan hal yang sebaliknya. Hal ini karena fakta kerkuaknya
konsep alam semestra yang mengembang,
yang dulu dianggap statis. Fakta tersebut sesuai dengan informasi Al Qur’an
yang telah diwahyukan sejak berabad-abad lalu .
Dialektika antara agama (al Qur’an) dan sains
adalah ciri khas pembelajaran yang dikembangkan di Trensains. Setiap santri Trensains
dikuatkan konsep agamanya, mereka dibekali pengetahuan tentang bahasa arab,
filsafat, dan ilmu-ilmu yang lainnya sebagai tool untuk pengembangan sains. Kurikulum
Trensains diramu sedemikian rupa dengan tujuan untuk membekali pengetahuan para
santri tentang dasar-dasar keilmuan sains, agama, serta interaksi antara agama
dan sains. Selain itu, dengan diluncurkannya mata pelajaran ALS (Al Qur’an dan
Sains) yang muncul pada semester tiga sampai enam merupakan bentuk nyata
pemahaman interaksi antara agama dan sains.
Kurikulum semesta yang diterapkan di Trensains menghendaki
setiap santri untuk menempatkan Al Qur’an sebagai kajian utama dalam
pengembangan sains. Selain itu, santri terus dipacu agar memilki
ketrampilan berpikir ilmiah yang baik, mereka akan dilatih melalui
program-program unggulan (My Qur’an, E-UP, B-UP, A-UP, E-Camp, A-Camp, Fismat
Camp, tahjud fisika, observasi AAS dll.) dengan tujuan agar memiliki kompetensi
dibidang Al Qur’an, IPA dan bahasa asing.
Pembelajaran berbasis pendekatan
metakognitif dan saintifik merupakan basis pengembangan
pembelajaran di SMA Trensains Tebuireng. Pendekatan saintifik merupakan suatu
proses pembelajaran yang dirancang agar santri dengan aktif mampu
mengonstruksi konsep, hukum atau prinsip dengan melalui beberapa tahapan dalam
mengamati, merumuskan setiap masalah, mengajukan atau merumuskan
hipotesis, mengumpulkan data, menganalisis data, menarik kesimpulan dan
mengomunikasikan konsep, hukum atau prinsip yang ditemukan. Pengembangan
pendekatan saintifik di SMA Trensains dimaksudkan untuk
memberikan pemahaman kepada para santri dalam mengenal, memahami berbagai
macam materi dengan menggunakan pendekatan ilmiah. Sehingga santri tidak
tergantung pada informasi searah yang di sampaikan oleh guru.
Sedangkan strategi metakognitif dalam
pembelajaran yang dikembangkan bertujuan untuk mengarahkan santri agar
bisa secara sadar mengontrol proses berpikir dalam pembelajaran. Untuk
merancang pembelajaran yang berkaitan dengan kemampuan metakognitif,
sekolah menerapkan strategi ini secara infuse (tambahan) dalam
pembelajaran dan bukan merupakan pembelajaran yang terpisah. Disamping itu
sekolah juga mengembangkan pembelajaran berbasisis jejaring tema yang sama
dalam mengembangkan pembelajaran metakognitif. Hal ini tidak akan tercapai jika guru-guru
trensains memiliki pengetahuan yang minimal. Untuk itu guru-guru trensains
minimal harus berpendidikan S-2 (Magister)
agar dapat mensukseskan visi-misi sekolah.
Secara umum peran Trensains adalah untuk
menyiapkan kader-kader santri yang berintelektual
tinggi pada level sekolah menengah atas. Selain itu Trensains merupakan sekolah
loncatan yang dimaksudkan agar santri memiliki pengetahuan yang lebih dari pada
santri pada umumnya. Karena pada dasarnya pengetahuan level S-1 dan S-2 sudah
diberikan kepada santri terutama pengetahuan-pengetahuan yang bekaitan dengan interaksi
agama dan sains yang tidak ada pada sekolah atau pesantren diluar Trensains.
Tujuan utama dari Trensains adalah untuk
menyiapkan kader-kader santri yang dapat diproyeksikan menjadi dokter,
teknolog, dan ilmuawan yang dapat mengembangkan sains berdasarkan ontologi, epistemology,
dan aksiologi islam sebagai bagian dari upaya membangun kembali peradaban islam
di masa yang akan datang. (Humas Trensains).