
Secara etimologi, istilah das sein dan das sollen sebenarnya
berasal dari istilah hukum. Dalam istilah hukum, Das Sein berarti kenyataan
penerapan hukum yang terjadi di dalam kehidupan. Biasa disebut juga Law in
Action. Sedangkan Das Sollen adalah hukum yang ada didalam aturan-aturan yang
telah dibuat (tertulis), yang terdapat dalam undang-undang dan peraturan hukum
lainnya. Biasa disebut juga Hukum yang dipelajari atau Law in the book. Dua
istilah ini sering dipakai diluar istilah hukum, dalam dunia intelektual Das
Sein disebut juga fakta atau realita yang terjadi. Adapun Das Sollen adalah
teori, prinsip maupun harapan yang seharusnya ada.
Ketika Das Sollen tidak sesuai dengan Das Sein maka timbullah
masalah. Dalam tradisi intelektual ketika seorang peneliti yang akan meneliti
suatu hal, maka ia harus memahami dahulu das sollen (teori yang sudah ada)
untuk kemudian dibandingkan atau dipadankan dengan das sein (fakta atau realita
yang ada). Apabila das sein tidak sesuai dengan das sollen berarti ada masalah
yang harus diselidiki atau diteliti permasalahannya.
Kalau dihubungkan dalam kehidupan sosial maupun psikologis
manusia, seringkali manusia terlalu berpedoman pada Das Sollen atau harapan
yang diinginkan terhadap dirinya dalam bersosial. Dan ketika dia mendapati das
sein (fakta yang ada) tidak sesuai dengan das sollen (harapan yang diinginkan)
dalam dirinya, ia mengalami gejolak dalam dirinya sehingga menimbulkan depresi
dari tingkat ringan hingga berat bergantung pada tingkatan ketidaksesuaian das
sein dan das sollen yang ia alami. Sebagai contoh, seorang pemuda yang memiliki
harapan cinta (baca mencintai) seorang pemudi lain dan berharap bisa
mendapatkan cinta pemudi tersebut dengan melakukan berbagai macam upaya
pendekatan kepada pemudi yang dituju, ketika ternyata (pada realitanya) pemudi
tersebut tidak menyukai bahkan tidak mencintai pemuda tersebut maka timbullah
gejolak dalam diri pemuda tersebut antara das sollen (harapannya untuk
mendapatkan cinta pemudi) dan das sein (realita dimana pemudi tersebut tidak
mencintainya atau menolaknya) yang menimbulkan depresi dalam diri pemuda tersebut.
Contoh lainnya, seorang pemudi sebut saja N berharap segera bisa menikah karena
memang sudah berumur namun dia belum mendapatkan seseorang yang cocok untuk
bisa diajak menikah. Suatu saat ada seorang pemuda sebut saja M yang menurutnya
baik dan cocok, ia berharap agar pemuda tersebut segera datang untuk
menikahinya. Namun ternyata, pemuda tersebut masih belum bisa menetapkan
keputusan yang pasti (karena faktor keluarga maupun target karir yang dihendaki
si M), sehingga menimbulkan depresi dalam diri si N yang diakibatkan oleh
ketidaksesuaian antara das sein (fakta yang terjadi) dengan das sollen (harapan
si N untuk segera menikah).
Menurut para ahli psikologi, manusia yang sering menderita
depresi berat atau bahkan mengalami komplikasi kejiwaan (complex personality)
disamping karena faktor ketidaksesuaian antara das sein dan das sollen,
biasanya juga karena peristiwa traumatic event yang dialami pada masa lalu.
Saat beranjak dewasa, perasaan tertekan (depresi) ini semakin membesar hingga
menyebabkan komplikasi kejiwaan (complex personality), bahkan dapat menimbulkan
penyakit hingga kematian. Sebagai contoh, seorang pemuda yang pada masa
kecilnya sering mendapatkan perlakuan yang kurang adil bahkan kekerasan dari
orang tuanya, seringkali ketika dewasa menjadi seorang yang memiliki
kepribadian yang antisosial, berwajah murung, mudah marah, banyak memiliki
penyakit dan hingga akhirnya tidak sedikit yang bunuh diri. Menurut hemat
penulis, fenomena semacam ini terjadi karena ketidaksesuaian antara das sein
(realita yang didapati dari orangtua yang tidak adil) dengan das sollen
(harapan kasih sayang dan keadilan dari orang tuanya) serta masih banyak contoh
lainnya yang sering kita dapatkan di sekitar kita.
Disamping dari yang penulis paparkan, ada juga yang
mengatakan bahwa komplikasi kejiwaan (complex personality) ini disebabkan
karena faktor turunan atau gen yang dibawa orang tuanya. Seringkali kita
dapatkan seorang anak yang mudah terkena penyakit, karena orangtuanya juga
mudah terserang penyakit. Begitu pula dalam hal sifat maupun sikap, seorang
anak yang memiliki sikap pemarah, biasanya dinisbatkan kepada orangtuanya yang
juga memiliki sikap temperamental. Dalam bahasa Arab, adagium yang cukup
terkenal adalah: alwaladu sirru abihi (seorang anak itu bagai suatu rahasia
orangtuanya), apa yang terjadi pada anak demikian pula yang terjadi pada
orangtuanya.
Di Indonesia sendiri, terdapat adagium yang terkenal “Buah
jatuh tidak jauh dari pohonnya” yang memiliki arti sifat anak tidak jauh
berbeda dengan ayah atau ibunya. Dengan kata lain sesuatu yang ada pada anak
pasti akan ada kemiripannya dengan orang tuanya. Senada pula dengan ini,
adagium bahasa Jawa yang berbunyi “anak polah bopo kepradah”, yaitu tentang
kenakalan anak yang mengakibatkan orang tuanya mengalami kesulitan (ikut
menanggung akibatnya). Beberapa adagium tersebut muncul tentunya bukan karena
tanpa sebab, tetapi justru karena pengaruh kondisi fakta yang terjadi. Seakan
mengatakan bahwa apa yang terjadi pada anak, dinisbahkan atau disandarkan pada
orang tuanya. Seakan pula mengatakan bahwa apa yang terjadi pada anak adalah
hasil cerminan apa yang dilakukan orang tuanya. Dengan kata lain, anak adalah
gudang sumber informasi rahasia dari orang tuanya.
Gen dan Saklar Gen
Apabila penisbatan (penyandaran) ini kita dasarkan pada ilmu
biologi, maka kita akan dapatkan kaitan yang logis, diantaranya dalam ilmu
genetika, atau ilmu yang mempelajari gen, pewarisan sifat, dan keanekaragaman
organisme hidup. Istilah “genetika” sendiri merupakan kata serapan dari bahasa
Belanda genetica, yang diadaptasi dari bahasa Inggris genetics, yang berasal
dari bahasa Yunani Kuno γενετικός (genetikos) yang berarti “tempat” yang
berasal dari kata dasar γένεσις (genesis) yang berarti “asal”. Adapun “gen”
dalam kamus Cambridge Advance Learners’ Dictionary berarti information about a
particular subject (informasi tentang objek tertentu), sehingga “gen” adalah
suatu informasi asal yang ada pada suatu objek. Dengan kata lain, genetika
berusaha menjelaskan material pembawa informasi untuk diwariskan (bahan
genetik), bagaimana informasi itu diekspresikan (ekspresi genetik), dan
bagaimana informasi itu dipindahkan dari satu individu ke individu lain
(pewarisan genetik).
Mengenai konsep pewarisan genetik ini, pertama kali
dikemukakan oleh Gregor Mendel (1865), seorang ilmuwan dan biarawan dari Jerman
yang terkenal sebagai peletak dasar ilmu genetika modern. Mendel mengetahui
bahwa pada semua organisme hidup terdapat “unit dasar” yang pada masa kini
disebut gen yang secara khusus diturunkan oleh orang tua kepada anak-anaknya.
Sebenarnya jauh-jauh hari sebelum Mendel, Nabi Muhammad pernah mengemukakan
tentang ini 14 abad yang lalu dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
(no. 5305) dan Imam Muslim (no. 1500) dari Abu Hurairah sebagai berikut ini:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ قَزَعَةَ حَدَّثَنَا
مَالِكٌ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ
وُلِدَ لِى غُلاَمٌ أَسْوَدُ. فَقَالَ « هَلْ لَكَ مِنْ إِبِلٍ ». قَالَ نَعَمْ. قَالَ
« مَا أَلْوَانُهَا ». قَالَ حُمْرٌ. قَالَ « هَلْ فِيهَا مِنْ أَوْرَقَ ». قَالَ نَعَمْ
.قَالَ « فَأَنَّى ذَلِكَ ». قَالَ لَعَلَّهُ نَزَعَهُ عِرْقٌ. قَالَ « فَلَعَلَّ ابْنَكَ
هَذَا نَزَعَهُ»
Dalam hadits tersebut diceritakan, ada seorang Arab Badui
mendatangi Nabi. Ia berkata, “Istriku melahirkan seorang anak yang berkulit
hitam dan aku mengingkarinya”. Rasulullah lantas bertanya kepadanya, ”Apa kau
memiliki unta?”. “Ya” jawabnya. Beliau kembali bertanya, “Apa saja warnanya?”.
Ia menjawab, “Merah”. Tanya Rasulullah lagi,“Adakah pada unta itu bintik-bintik
hitam?”. Ia menjawab, “Ya, pada tubuhnya terdapat satu bintik hitam.” Beliau
bertanya, “Darimana datangnya warna itu?”. Ia menjawab, “Wahai Rasulullah, itu
adalah tanda lahir.” Maka beliau bersabda, “Mungkin (hitamnya anakmu) itu
adalah tanda lahir (yang berasal dari nenek moyang terdahulu)”. Dalam hadits
ini, Nabi mengisyaratkan konsep pewarisan genetik dan tidak membolehkan orang
Arab Badui tersebut mengingkari anak keturunannya sendiri walau ia kelihatan
berbeda kulit dari dirinya. Dalam kitab Shahih-nya, Muslim juga meriwayatkan
dari Aisyah dalam hadits (no. 314) tentang seorang perempuan yang bertanya
kepada Rasulullah sebagai berikut:
أن امرأة قالت لرسول الله صلى الله عليه
و سلم هل تغتسل المرأة إذا احتلمت وأبصرت الماء ؟ فقال نعم فقالت لها عائشة تربت يداك
وألت قالت فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم دعيها وهل يكون الشبه إلا من قبل ذلك
إذا علا ماؤها ماء الرجل أشبه الولد أخواله وإذا علا ماء الرجل ماءها أشبه أعمامه.
“Apakah seorang
perempuan wajib mandi ketika bermimpi dan melihat cairan?”, Beliau menjawab,
“Ya”. Lalu Aisyah berkata kepada perempuan itu, “Beruntunglah kamu!” Lalu
beliau bersabda, “Biarkan ia. Bukankah kemiripan anak itu terjadi dari (cairan)
itu? Jika air perempuan lebih dominan dari laki-laki, maka anaknya akan mirip
dengan saudara-saudari dari pihak ibu, dan jika air laki-laki lebih dominan
dari air perempuan, maka anaknya akan mirip dengan saudara-saudari bapaknya”.
Sekali lagi, hadits di atas menegaskan hadits sebelumnya
tentang adanya konsep pewarisan genetika dari induk ke turunannya. Pewarisan
genetik atau dalam istilah Inggris disebut genetic transmisional ini dapat
berupa sifat fisik maupun non-fisik dalam suatu kumpulan gen atau biasa disebut
kromosom. Setiap manusia memiliki 46 kromosom, dan setiap kromosom membawa
sejumlah gen. Tentu saja kromosom setiap orang berbeda dengan kromosom lainnya.
Kromosom pada manusia atau makhluk hidup lainnya yang berkembang biak secara
seksual dapat dibedakan menjadi dua, yaitu a). autosom, adalah kromosom yang
mengatur sifat-sifat tubuh selain jenis kelamin, b). gonosom atau kromosom
seks, yaitu kromosom yang khusus menentukan jenis kelamin. Kromosom seks
manusia biasanya berjumlah sepasang (disimbolkan XY dan XX). Seorang laki-laki
mempunyai kromosom XY, sedangkan seorang wanita mempunyai kromosom XX. Apabila
ditautkan dengan konsep ajaran Islam tentang nabi Adam as, maka seluruh
kromosom dan gen ini ada pada diri Adam dan kemudian menyebar ke seluruh
keturunannya. Masalah ini ditegaskan dalam al-Quran surat Al-An’am ayat 98:
وَهُوَ الَّذِي أَنْشَأَكُمْ مِنْ نَفْسٍ
وَاحِدَةٍ فَمُسْتَقَرٌّ وَمُسْتَوْدَعٌ ۗ قَدْ فَصَّلْنَا الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَفْقَهُونَ
“Dan Dia-lah yang menciptakan kamu dari seorang diri, maka
(bagimu) ada tempat tetap dan tempat simpanan. Sesungguhnya telah Kami jelaskan
tanda-tanda kebesaran Kami kepada orang-orang yang mengetahui”. Yang
dimaksudkan “من نفس واحدة“ ini menurut ath-Thabari
berdasarkan riwayat para sahabat dan ilmuwan Muslim lainnya adalah Adam as.
Dalam ilmu biologi, “gen” adalah bagian dari kromosom atau
satu kesatuan kimia dalam kromosom yang mengendalikan ciri genetis suatu
makhluk hidup. Gen memiliki sifat menurun dari induk kepada anaknya, dari
orangtua kepada turunannya. Istilah “gen” pertama kali dikemukakan oleh Wilhelm
Johannsen (1919) seorang ilmuwan Botani dan ahli genetika dari Denmark. Ia dikenal sebagai orang yang pertama kali
menunjukkan bahwa variasi penampilan (fenotipe) tidak hanya disebabkan oleh gen
tetapi juga karena pengaruh lingkungan. Adapun fungsi gen menurut Kazuo
Murakami (seorang professor di Fakultas Biologi Terapan Universitas Tsukuba
yang telah meneliti di bidang genetika selama 20 tahun lebih) antara lain
sebagai berikut: a). menyampaikan informasi genetik dari satu generasi ke
generasi berikutnya, b). untuk menjaga keberlangsungan hidup dengan memproduksi
protein.
Fungsi yang pertama ditunjukkan dengan sel-sel dalam tubuh
yang terus menggandakan diri dengan menggunakan fungsi fotokopi dari DNA. DNA
(deoxyribonucleic acid) atau disebut pula asam deoksiribonukleat merupakan
suatu asam nukleat yang menyimpan segala informasi tentang genetika atau dapat
dikatakan pula merupakan gambar rancangan kehidupan yang tertulis dalam DNA sel
sebagai “kode” unik yang berisi sumber informasi kehidupan yang sangat luas.
DNA inilah yang menentukan jenis rambut, warna kulit dan sifat-sifat khusus
dari manusia. Tampaknya peranan DNA inilah yang memunculkan kesan bahwa “gen”
itu tetap dan tidak berubah. Artinya, dengan membuat sel yang sama seperti
sebelumnya di dalam tubuh, sel tersebut meneruskan sifat dan karakter dari
induk ke anak, dari anak ke cucu, tanpa perubahan. Dari sinilah muncul
kesimpulan bahwa sifat konstan (tetap) inilah yang memberikan kesan bahwa gen
adalah sesuatu yang telah ditetapkan sebelumnya dan tidak akan berubah.
Sehingga cukup wajar pula apabila muncul beberapa adagium-adagium yang sudah
penulis sebutkan dahulu (alwaladu sirru abihi, “Buah jatuh tidak jauh dari
pohonnya” dan sebagainya). Namun menurut Kazuo Murakami dalam bukunya “SWITCH”
(2012), fungsi gen yang kedua sebagai pembuat protein, sama sekali tidak
konstan. Yang dimaksudkan dengan fungsi “gen” yang kedua di sini adalah informasi
tentang pembuatan protein, yang merupakan salah satu bagian dari miliaran
informasi genetic (disebut genom) yang termuat dalam DNA di inti sel.
Seperti yang telah diketahui, protein adalah bahan paling
penting dalam pembentukan bagian tubuh makhluk hidup seperti tulang, otot
kulit, dan organ dalam. Dengan demikian, informasi perintah pembuatan protein
ini berlangsung terus menerus dan pembuatannya tanpa henti terjadi dalam tubuh
makhluk hidup untuk menjaga keberlangsungan hidupnya. Apabila perintah tersebut
tersendat, maka keberlangsungan hidup makhluk hidup tersebut akan terancam.
Singkat kata, selain memiliki sifat konstan dari pewarisan sifat, gen juga
memiliki sifat kinerja dinamis yang tent uterus menerus berubah demi menjalani
kehidupan pada saat ini. Dengan kata lain, gen bukanlah bawaan lahir yang kaku
dan seumur hidup tidak akan berubah. Sebagai contoh, bakteri Escherichia Coli
atau biasa disingkat E.Coli, merupakan bakteri yang pada umumnya hidup di dalam
usus besar manusia, kebanyakan dari bakteri E.Coli tidak berbahaya bahkan
keberadaannya bisa dibilang menguntungkan. Bakteri ini normalnya hidup dengan
memakan fruktosa, meskipun ia diberi bahan yang berbeda seperti misalnya
laktosa, dia tak akan bisa mengubahnya menjadi energi. Tetapi apabila bakteri
ini tidak diberi bahan lain, dan terus-menerus hanya diberi laktosa,
lama-kelamaan ia bisa mengubah laktosa menjadi energi. Inilah yang (menurut
istilah Murakami) disebut perubahan genetika karena perlakuan ilmiah.
Secara ringkas, perlakuan ilmiah ini penulis sebut faktor
eksternal atau lingkungan di mana jika bakteri itu tidak bisa mengubah laktosa
menjadi energi maka ia akan mati. Kondisi (factor eksternal) inilah yang
menjadikan bakteri tersebut bisa berubah atau mengalami mutasi genetika.
Perubahan ini menurut Murakami disebabkan karena gen memiliki fitur “saklar”
(Switch) yang berfungsi untuk mengendalikan kinerja gen tersebut antara “on”
dan “off”. Fitur inilah yang disebut sebagai pemicu proses munculnya makhluk
hidup, evolusi dan segala kegiatannya serta menjadi dasar dari suatu kehidupan.
Tentu saja, hal serupa dapat pula terjadi pada gen manusia.
Apabila penelitian ini dikaitkan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Masaru Emoto pada tahun 1994 lalu dalam bukunya The Miracle of
Water dan beberapa karya lainnya, maka akan terdapat hubungan yang cukup
signifikan. Dalam penelitiannya, Emoto menyatakan bahwa ada hubungan antara
bentuk molekul kristal air yang dibekukan dengan pemberian kata-kata yang
bagus, memainkan musik yang indah, dan doa. Apabila air merupakan komponen
tubuh paling banyak dalam tubuh manusia (sekitar 70-80 % molekul air dalam tubuh
manusia), maka manusia memiliki pengaruh yang besar terhadap hal-hal tersebut
(pemberian kata-kata yang bagus, memainkan musik yang indah, dan doa). Artinya
manusia dan segenap komponen tubuhnya (baik fisik maupun psikis) bereaksi
terhadap factor yang terjadi diluar manusia. Begitu pula factor-faktor tersebut
dalam mempengaruhi manusia, sehingga dapat pula dikatakan ada kaitan antara gen
manusia dan hal-hal yang berhubungan dengan perasaan manusia seperti bahagia,
syukur, dan doa.
Dari beberapa paparan diatas, dapat disimpulkan bahwa gen
memiliki fleksibilitas, pada saat-saat tertentu ia dapat berubah sesuai dengan
factor eksternal (lingkungan) dan factor internal (keadaan hati manusia, psikis
dan lain-lain). Pendek kata, ada hal yang menyebabkan kinerja gen menjadi
dinamis dan tidak konstan. Hal ini kalau disebabkan menurut Murakami karena
adanya “fitur saklar” dalam gen. Fitur inilah yang memicu proses munculnya
perubahan evolusi dan segala kegiatannya serta menjadi dasar dari suatu
dinamisasi kehidupan. Pertanyaan yang timbul kemudian adalah “apakah hal yang
menyalakan atau mematikan saklar gen tersebut?”. Yang dapat mematikan dan
menyalakan saklar tersebut adalah “lingkungan” dan “diri” manusia tersebut.
Lingkungan atau penulis sebut dengan factor eksternal, misalnya adalah factor
fisik seperti panas, tekanan, tegangan, latihan, gerakan, cahaya, dan
sebagainya. Selain itu juga factor makanan dan bahan kimiawi seperti alcohol,
rokok, hormon dan sebagainya. Adapun “diri” atau factor internal, diantaranya adalah
faktor psikologis seperti syok, trauma, kegirangan, cinta, haru, kekhawatiran,
doa dan sebagainya. Ketika saklar dalam gen ini dinyalakan atau dalam mode
“on”, akan muncul kemampuan-kemampuan tersembunyi di dalamnya dan bisa
dikatakan kemampuan gen yang tak terhingga.
Ilustrasinya sering kita dapatkan dalam kehidupan
sehari-hari, di mana ada seorang anak difabel (cacat) yang memiliki kemampuan
luar biasa yang tak bisa disangka. Seperti halnya Abdul Khalim, pemuda berusia
19 tahun asal Rembang, Jawa Tengah yang memiliki cacat ditangannya, kini
menjadi kepala teknisi di Pusat Pendidikan Komputer Perusahaan Informasi
Teknologi (IT) Bandung, Jawa Barat. Ada juga bocah bernama Jiang Tianjin yang
meski memiliki kekurangan pada tubuhnya (tidak punya tangan), tapi ia telah
berhasil menyelesaikan ujiannya dengan hasil yang baik di sebuah sekolah dasar
di Shehong, Sichuan, Tiongkok. Yang lebih mencengangkan lagi adalah Nick
Vujicic yang berasal dari Australia, seorang motivator yang mengidap
tetra-amelia syndrome sejak lahir. Tetra-amelia syndrome adalah gangguan langka
yang ditandai dengan tidak adanya keempat anggota badan. Meski begitu ia
melakukan banyak hal yang biasa dilakukan oleh orang-orang normal, ia sekolah,
berenang, belanja ke mal, bahkan juga menulis buku berjudul Life Without
Limits. Dan masih banyak lagi contoh lainnya, yang menunjukkan bangkitnya gen
atau hidupnya gen dalam hidup mereka.
Murakami menambahkan, diantara cara untuk membangkitkan gen
ini adalah dengan cara hidup demi sebuah “misi”, bukan untuk menggapai “visi”.
Visi dalam Bahasa Inggris disebut vision, dalam kamus Merriam-Webster online
diartikan dengan “something seen in a dream, trance, or ecstasy
(especially: a supernatural appearance
that conveys a revelation), a thought, concept, or object formed by the
imagination”. Yang dimaksud dengan “visi” adalah sesuatu yang ditulis sendiri,
karenanya kekuatan untuk menggapai itu pula harus dihimpun sendiri. Visi
diartikan sebagai target-target pribadi, cita-cita atau apa yang seharusnya digapai.
Sedangkan misi (dalam Bahasa Inggris disebut mission) dalam kamus
Merriam-Webster online diartikan sebagai “a body of persons sent to perform a
service or carry on an activity” atau sekelompok orang yang ditugaskan untuk
melakukan suatu pengabdian, atau melaksanakan suatu kegiatan. Singkat kata
menurut Murakami, misi berarti suatu tugas yang datang dari atas (Tuhan),
sehingga kekuatan untuk melakukannya juga datang dari atas (Tuhan).
Inti cara membangkitkan gen adalah dengan mengubah cara hidup
dari “mencari-mencari dan berharap” menjadi “menerima dan merelakan” kemudian
muncul kesyukuran akan kehidupan, sehingga memunculkan pikiran-pikiran yang
positif yang penuh optimisme dari sebelumnya berupa pikirian-pikiran negatif
yang gelap dan penuh pesimisme. Dalam al-Quran surat Ali Imran ayat 135
dikatakan:
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ
ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ
الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan
keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun
(beristighfar) terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni
dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu,
sedang mereka mengetahui.” Ayat di atas diperkuat dengan hadits nabi yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad yang berbunyi:
مَنْ لَزِمَ الِاسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللَّهُ
لَهُ مِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجًا ، وَمِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا ، وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ
لَا يَحْتَسِبُ
“Barangsiapa tekun beristighfar, nescaya Allah mengadakan
baginya jalan keluar dari tiap-tiap kesempitan dan kelapangan dari tiap-tiap
kesedihan serta diberi rezeki dari arah yang tidak di sangka-sangka.”
Dalam psikologi, para ahli ilmu jiwa menyimpulkan bahwa
tindakan mengakui kesalahan ini bisa dikatakan termasuk dari penerimaan diri
(self acceptance), sehingga dapat menjernihkan jiwa dan menyembuhkan penyakit.
Kedokteran modern menamakan ini dengan istilah psychoanalysis therapy, yaitu
sebuah terapi dengan cara memunculkan pengakuan-pengakuan diri seorang pasien
tentang masalah-masalah yang dialaminya dihadapan seorang dokter maupun
psikiater.
Secara
ringkas dari apa yang sudah dipaparkan di atas, adalah dalam memandang
kehidupan ini, hendaknya tidak terlalu berlebihan mengacu pada visi, pendek
kata terlalu mengacu pada das sollen atau harapan serta cita-cita yang
diinginkan, kemudian melupakan misi atau disebut das sein atau fakta yang
sebenarnya terjadi. Ketika terjadi ketidaksesuaian antara das sein (realita)
dan das sollen (harapan), maka hendaknya mengambil keputusan untuk menerima das
sein tersebut dengan penuh keoptimisan, menjalankan misi kehidupan yang telah
ditugaskan dan memasrahkan semuanya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Tidak
terpengaruh oleh faktor eksternal (lingkungan) dan faktor internal (diri) yang
membawa ke arah negatif, seperti situasi panas, alkohol, rokok, trauma, syok,
kesedihan dan sebagainya. Agar saklar yang terdapat dalam gen bisa bangkit dan
bangun, harus dinyalakan dengan berpikir positif terhadap semua das sein atau
realita yang ada. Sehingga kemudian muncul das sollen dari kinerja gen yang
telah termutasikan menjadi baru untuk bisa mengatasi problema yang ada. Singkat
kata, penerimaan terhadap das sein dan perubahan yang terjadi pada das sollen
dengan pandangan hidup yang lebih positif akan membuat saklar gen bermutasi
kearah yang lebih positif pula, sehingga potensi-potensi kemampuan yang
terkandung di dalamnya akan muncul lebih besar dari sebelumnya. Pada akhirnya,
akan bermutasi menjadi manusia paripurna atau dalam konsep Islam disebut insan
kamil (manusia yang sempurna).
Wallahu a’lamu
bishowab.
*) Penulis: Ust Hanif Fathoni (Wakil Kepala Sekolah Bidang Humas)