
Ketika Syeikh Abdul Qadir Jailani diberi amanah
sebuah sekolah atau madrasah qadiriyah, beliau membuat tiga aturan. Pertama, sekolah
ini untuk semua orang muslim maupun non muslim. Kedua, sekolah ini gratis dan
tidak dipungut biaya. Ketiga, semua orang non muslim bebas menjalankan agamanya
dan tidak boleh dipaksa untuk masuk islam. Aturan ini menandakan bahwa sekolah
yang didirikan oleh beliau adalah sekolah yang benar-benar mengedepankan
toleransi dan sikap sebagai maincore pendidikannya.
Awalnya, banyak orang yang mencibir sekolah yg
didirikan oleh Syeikh Abdul Qadir Jailani,
danmencemohnya karena memang pada zaman tersebut sekolah ini termasuk
antimainstream.
Pertama kali hanya ada tiga orang saja. Namun berkat kegigihan beliau tetap
meneruskan perjuangannya hingga seiring bertambahnya waktu bertambah menjadi
70.000 an orang. Sekolah tersebut menjadi sekolah maupun perguruan tinggi
terbesar pada zaman itu dengan berbagai macam materi pelajaran agama dan umum
yang diampu oleh seorang Grand Syeikh (profesor).
Diantara kurikulum yang diterapkan oleh Syeikh Abdul
Qadir Jailani adalah kurikulum gabungan pelajaran agama dan pelajaran sains
teknologi. Untuk pelajaran agama dilaksanakan pada waktu pagi hari hingga waktu
dzuhur, serta diikuti oleh para siswa muslim. Pelajaran agama yang diberikan
berkisar tentang ilmu tauhid,
fiqih, tafsir, hadits maupun akhlak tasawuf. Sedangkan bagi para siswa non muslim, mereka mendapat pelajaran sains dan teknologi
ba'da dzuhur hingga sore hari. Pelajaran yang diberikan adalah astronomi, ilmu ukur,
arsitektur dan sebagainya.
Yang menarik dari sekolah ini adalah antara siswa
muslim maupun non muslim hidup rukun berdampingan, tanpa ada yang saling
mencaci maupun bertikai. Diantara
riwayat cerita yang terjadi, suatu ketika
ada salah seorang siswa non muslim yang menghadap kepada Sang Guru untuk bisa
memeluk agama Islam, kemudian oleh Sang
Guru pun ditanya hal berikut ini,
"Adakah diantara murid2 muslim disini yang membayarmu untuk masuk
agama Islam? “. Mereka menjawab dengan serentak "tidak ada wahai guru
". "Adakah diantara murid2 muslim disini yang memaksamu atau
mengancammu untuk masuk Islam? ", tanya Sang Guru kemudian. " Tidak
ada wahai guru ", tegas mereka.
Baru setelah jelas tidak ada sama sekali paksaan dan hal2 yg berkaitan
dengannya, Syeikh Abdul Qadir Jailani berkenan untuk mensyahadatkan
mereka.
Dari peristiwa tersebut tampak jelas bahwa sistem
pendidikan yang diterapkan oleh Syeikh Abdul Qadir adalah sistem
pendidikan berbasis hati dan toleransi
tinggi, sehingga hasil yang diharapkan adalah keikhlasan tingkat tinggi dalam
menjalankan agama maupun kehidupan ini.
Diantara ajaran beliau adalah untuk selalu menjaga prasangka baik kepada
siapa pun yang ada. Disamping itu selalu
menjaga etika dan di akhlak yang baik dimana pun berada sesuai dengan tatanan
dan adat istiadatnya. Seandainya sekolah zaman sekarang memiliki basis spirit
pendidikan semacam ini, semestinya etika
dan karakter bangsa Indonesia bisa menjadi lebih baik lagi. Disamping itu
tentunya murid dengan ruang gembira ke sekolah tanpa paksaan maupun
keterpaksaan.
Hal yang patut direnungkan dari apa yang diterapkan
oleh Syeikh Abdul Qadir Jailani sebagaimana tercantum dalam adagium bahasa Arab
yg cukup dikenal di kalangan pesantren :
الطريقة
أهم من المادة؛ والمدرس أهم من الطريقة؛ وروح المدرس أهم من المدرس نفسه.
Metode itu lebih penting daripada materi. Eksistensi
guru lebih penting daripada metode. Jiwa spiritualitas sang guru lebih penting
dari guru itu sendiri.
Dapat dipahami bahwa
apabila guru memiliki metode mendidik yang baik, maka materi pelajaran akan
lebih mudah diterima oleh peserta didik. Metode maupun teknik mendidik yang
baik akan muncul ketika sang guru pun berwawasan yang luas dan berkarakter
kuat. Semua karakter yang baik tersebut
muncul apabila jiwa guru itu baik, atau
dengan kata lain guru itu memiliki keikhlasan mendidik yang tinggi. Guru tidak akan bisa menjadi baik apabila
jiwa nya tidak baik, terlalu sering
mendapat tekanan sehingga murid pun ikut tertekan. Yang diperlukan adalah
proses yang panjang untuk bisa membentuk jiwa guru yang baik dan tidak cukup
dengan pelatihan maupun tutorial yang cuma diadakan beberapa hari. Dengan
demikian yang diperlukan adalah proses pendidikan bukan hanya pendidikan
proses. Sehingga pendidikan akan lebih berasa dan berarti.
*) Penulis: Ust Hanif Fathoni (Wakil Kepala Sekolah Bidang Humas)