Oleh Aguk Irawan MN
Hadratusyaikh KH.
Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama itu memang secara resmi telah ditetapkan
oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional pada 17 November 1964,
berdasar Keppres Nomor 294. Keputusan ini lebih terlambat sedikit dari putranya
KH Wahid Hasyim yang telah ditetapkan lebih dulu pada 24 Agustus 1964 berdasar
Keppres Nomor 206.
Sekilas tidak ada yang
janggal, tetapi jika diperhatikan ini sedikit aneh, sebab hampir seluruh kiprah
putranya itu di pentas Nasional adalah badal atau representasi dari Sang
Ayah. Lebih dari itu, apa peran
Hadratusyaikh pada republik ini juga
masih kabur? Buku pelajaran sejarah sekolah sejak Orla dan Orba belum
memasukkan kiprah perjuangannya secara proposional. Jikapun ada tak lain dan
bukan hanya seputar pendirian NU.
Hal ini menurut
sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara
karena faktor kurangnya kesadaran dan perhatian umat Islam sendiri, terutama di
kalangan santri terhadap sejarah Islam Indonesia yang menjadikan peran
sejarahnya ditiadakan.
Sementara menurut
sejarawan Profesor Ruslan Abdul Ghani, data dan arsip terkait perjuangan kaum
santri memang minim, jadi wajar jika tidak masuk dalam kurikulum sekolah. Tetapi menurut Agus
Sunyuto, demikian itu sengaja dilakukan oleh Orla dan Orba, karena ketakutan
mereka pada kebangkitan kaum santri, terutama di pentas politik kekuasaan.
Mengingat Ormas ini pernah punya peran yang signifikan pada perjuangan dan
pergarakan menuju kemerdekaan dan upaya mempertahannkannya. Lebih-lebih NU
pernah jadi Parpol dan ikut dalam "percaturan" kekuasaan.
Kendati demikian
untunglah masih ada Asad Syahab, wartawan Lebanon yang menulis buku Al-Allama
Hasyim Asyari wadiu labnati istiqlali Indonesia, juga ada Frederic Anderson, sejarawan Amarika yang
mengumpulkan arsip/ dokumentasi di Indonesia mulai tahun 1941-1945. Diluar nama
itu masih ada Anthony Ried dan Marshal Hodshon.
Ada hal-hal menarik
yang disunggung para sejarawan itu terkait pergolakan kaum santri dalam pentas
sejarah bangsa ini, terutama peran Mbah Hasyim terkait seputar hari santri 22
Oktober dan sekitarnya.
Pertama; Terkait
sejarah kaum santri secara umum, pada 1512, ketika embrio NKRI masih bernama
Kerajaan Demak, Pati Unus yang notabene santri didikan Walisongo dengan gagah
berani memimpin 10.000 pasukan dalam 100 kapal untuk menyerbu Portugis di
Malaka. Tujuannya sederhana, Portugis tidak lebih jauh masuk ke Nusantara dan
mengancam kedaulatan. Dua abad kemudian meletuslah perang akbar, pemberontakan
Cirebon (1802-1818) yang dikomandani para santri. Nama-nama tokoh yang ada
dalam arsip PH. Van der Kemp, diangaranya Bagus Serrit, Jabin, Neirem dan Bagus
Rangin adalah para santri, sebagaimana pula tertulis dalam Serat Candhini.
Selanjutnya Pada 19
Juli 1825, Pangeran Diponegoro yang merupakan santri dan ahli tarekat dari
padepokan Tegalrejo, Yogyakarta mengobarkan Perang Jawa (Java Oorlog ) hingga
membuat Belanda mengalami kerugian 20 juta gulden dan nyaris bangkrut. Perang
Jawa ini konon melibatkan ratusan ribu kiai, ulama, dan santri tidak hanya dari
seantero Pulau Jawa, namun sampai Bugis, Sulawesi Selatan. Beberapa santri,
murid dan sahabat Diponegoro diantaranya adalah Kiai Abdul Jalal dan Kiai Mojo.
Dalam dokumen Vander Kemp tersebut selama satu abad (1800-1900) disebutkan
terdapat 112 kali pemberontakan oleh kaum santri dan tarikat.
Kedua; terkait dengan
Mbah Hasyim, semasa kolonial Belanda Pesantren Tebuireng yang dirintisnya
pernah sampai empat kali dibakar kolonial, buntut dari sikap tegasnya atas
kebijakan meraka. Diantaranya terkait kebijakan taman paksa, oerdonansi guru,
fatwa larangan haji dan lain sebagainya.
Ketiga; Ketika, sore
hari tanggal 7 Maret 1942 Lembang jatuh ke tangan Jepang. Jepang berhasil
memaksa pasukan KNIL (Koninklijk Netherlandsch Indische Leger) di bawah komando
Letjen Ter Poorten melakukan gencatan senjata. Kemudian Belanda meminta
perundingan di Kalijati. Saat itu juga, Ter Poorten dan Tjarda secara resmi
menandatangi dokumen kapitulasi atau penyerahan tanpa syarat Hindia Belanda
kepada Jepang. Selanjutnya tanggal 9 Maret 1942 jepang mengumumkan akan
menjadikan Indonesia saudara tuanya dan berjanji sesama Asianya akan membantu
memerdekannya dari penjajahan kulit putih Eropa. Satu bulan kemudian, 9 Mei
Mbah Hasyim bersedia menjadi mufti (shumubu) 1942.
Orang banyak bertanya,
bahkan elit nasionalis saat itu banyak menyayangkan sikapnya dan mengkritik
keras keputusan ini, tetapi Mbah Hasyim tetap tak bergeming untuk mundur.
Bahkan, ia menunjuk putranya untuk menggantikan posisinya sebagai pelaksana.
Namun belakangan baru diketahui bahwa sikap ini adalah sebagai strategi yang
luar biasa bagi jalan menuju kemerdekaan.
Sejarah mencatat,
Presiden Jepang, tanggal 24 September 1942 secara resmi pernah berjanji akan
memerdekakan bangsa Indonesia, tetapi janji tetap janji. Hal inilah yang
dimanfaatkan mbah Hasyim untuk terus konsulidasi dan menjalankan strateginya.
Diantaranya dengan meminta Jepang untuk memberi pendidikan yang memadai pada
pribumi dan memintanya untuk mengjari latihan Militer.
Jepang tidak
keberatan, karena mereka sudah mencium Belanda dan sekutu akan kembali
mengambil alih kekuasaannya pada rencana agresi militer kedua. Jadi pelatihan
militer pada pribumi akan menguntungkannya untuk menghadapi NICA. Tapi bagu
Mbah Hasyim pengetahuan dan pelatihan ini adalah langkah pertama untuk
menggapai cita-cita kemerdekaan. Sebb baginya, jika rakyat sudah terlatih,
tidak ada sulitnya mengusir Jepang yang hanya segelintir itu.
Melalui Shumuka-cho
(kantor cabang Shumubi di daerah) Mbah Hasyim dan sejumlah kiai membuat barisan
komando perang, seperti Barisan Hizbullah, Sabilillah, Pandu Wathon dan lain
sebagainya. Setiap hari kiai dan santri itu mereka dilatih perang oleh tentara
jepang dalam komando Jendral Suzuka. Kelak, setelah mereka sedikit mahir dan
Mbah Hasyim dimasukan ke penjara selama empat bulan karena menolak kebijakan
Seikirai.
Selama itu pula
bagaimana pemberontakan demi pemberontakan kaum santri bergolak dimana-mana.
Sehingga Jepang terpaksa melepaskan Mbah Hasyim. Selanjutnya, strategi inilah
salah satu yang mengantarkan kemerdekaan bangsa Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945.
Lebih dari itu, ketika
Mbah Hasyim dan NU mengeluarkan resolusi jihad, 22 Oktobet yang meminta rakyat
untuk melawan sekutu yang membonceng NICA adalah jihad fardu ain demi membela
tanah air dan mempertahankan kemerdekaan. Sejarah mencatat, setelah itu,
tanggal 24, 25 dan 27, 28 genjatan senjata berkobar di Surabaya. Puncaknya
sampai tanggal 10 November 1945.
Selain terjadi di
Jatim, peristiwa lain juga terjadi di seputar Jateng. Setelah NICA dan Sekutu
yang dipimpin Van Der Plas dan Van Mook mendarat di Ambarawa pada tanggal 29
September. Gubernur Jawa Tengah saat itu Wongsonegoro justru 'mempersilahkan'
masuk rombongan Sekutu itu dan melepaskan ribuan tawanan Sekutu. Anehnya
setelah dilepas tawanan itu dipersenjatai dan balik mengambil kekuasaan
Gubernuran. Kiai Chudlori, pendiri Pesantren Tegalrejo, santri Mbah Hasyim,
atas perintahnya meminta anggota Shumuka-cho yang terlatih yaitu para santri,
pemuda masjid dan mushalla serta segenap masyarakat untuk merebut kembali
Ambarawa.
Pertempuran
berlangsung sengit pada tanggal 20-22 Oktober 1945 sampailah utusan Jendral
Soedirman, Letkol Sarbini dan letkol Isdiman turut membahu berjuang. Para
santri Mbah Chudori, menempati garda terdepan perjuangan menggebuk Tentara
sekutu ini. Dalam peristiwa ini muncul nama duo santri asal Magelang,
yakni; Adzroi dan Sastrodiharjo yang
dikenal dengan kesaktiannya akibat khizib Mbah Chodlori.
Hal lain yang perlu
dicatat adalah, sejak proklamasi kemerdekaan dideklarasikan, Indonesia blm
punya tentara. Baru dua bulan kemudian, 5 Oktober dibentuk TKR (Tentara
Keamanan Rakyat). Tanggal 10 diumumkanlah jumlah TKR di Jawa. Ada 10 divisi,
anggotanya perdivisi ada 10.000 prajurit dengan dibagi atas 3 resimen dan 15
batalyon. Ke 10 divisi diatas dipimpin oleh Kiai dan ketua Shumukacho daerah,
yang merangkap komandan hizbullah dan ketua cabang NU. Diantaranya adalah
kolonel KH Sam'un. Pengasuh Pesantren di Banten. Kolonel KH Arwiji Kartawinata
di Tasikmalaya, dan lain sebagainya. Arsip ini ada di TNI sekarang.
Ketiga; Sejak
Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya 17 Agustus 1945 kenapa nyaris setahun
tidak ada negara lain yang mengakui? Itu karena mereka menganggap bahwa
Indonesia adalah negara boneka dan kemerdekaannya dinilai pemberian dari Nippon
Jepang. Hal ini bisa dijelaskan, menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia,
Soekarno dan Hatta menyambangi Jepang untuk bertemu dengan Kaisar. Kemudian, rapat
besar di Lapangan Ikada juga dijaga ketat oleh tentara Jepang. Belum lagi
naskah teks Proklamasi yang diketik oleh orang berkebangsaan Jepang, Laksamana
Meida.
Selain itu, adalah
sudah menjadiz fakta sejarah, selama masa pendudukan, Jepang juga membentuk
badan persiapan kemerdekaan yaitu BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau 独立準備調査会
(Dokuritsu junbi chōsa-kai) dalam bahasa Jepang. Badan ini bertugas membentuk
persiapan-persiapan pra-kemerdekaan dan membuat dasar negara dan digantikan
oleh PPKI atau (独立準備委員会,
Dokuritsu Junbi Iinkai) yang bertugas menyiapkan kemerdekaan.
Juga fakta sejarah,
Pengakuan paling awal justru datang dari
Mesir, Palestina dan India. Itu, tidak lain, karena mufti Mesir, Syaikh
Sulaiman adalah guru Mbah Hasyim. Mufti Palestina Syaikh Amin adalah murid Mbah
Hasyim dan Mufti India Syaikh Sa'dullah juga murid Mbah Hasyim di Hijaz.
Keempat. Ketika hasil
politik etis menjadikan para elite pribumi memimpikan berdirinya negara
Indonesia, Mbah Hasyim dan kiai NU pada Muktamar NU pada 1925 di Banjarmasin
telah membulatkan tekad untuk memperjuangkan lahirnya Republik Indonesia
sebagai Darussalam (negara kesejahteraan), bukan Darul Islam (negara Islam).
Ini adalah sebuah gagasan progresif ketika belum banyak orang berpikir tentang
konsep dasar negara Indonesia. Wallahu'alam bishawab.
Gua Kidul-Cirebon 22
Oktober 2020.