Oleh : Syafhira Najwa Khoirunnisa
Globalisasi menjadi topik yang santer dibicarakan di berbagai media massa, baik media cetak maupun media berbasis daring. Terlebih dampak buruk globalisasi yang dikhawatirkan akan merusak karakter para generasi penerus bangsa. Dalam kehidupan sehari-hari, peran globalisasi sebagai sebuah pengaruh bukannya tidak membawa dampak baik, bahkan beberapa dampak baik dari globalisasi tidak bisa kita pungkiri, seperti kecanggihan teknologi informasi yang dapat meningkatkan kualitas diberbagai sektor kehidupan, seperti pendidikan, kesehatan, trasportasi, dan sektor pariwisata. Bahkan kemajuan dalam bidang ekonomi (seperti market online)merupakan dampak nyata dari kemajuan tersebut. Meskipun begitu, kita tidak bisa menutup mata dari dampak buruk globalisasi yang bisa merusak tatanan agama dan karakter serta budaya bangsa yang selama ini kita selami.
Di sini peran vital orang tua berjalan, para orang tua melakukan berbagai macam tindakkan yang menurut mereka bisa menetralisir dampak buruk globalisasi bagi putra-putri mereka, seperti mengontrol jam penggunaan gawai, membatasi akses internet, mengontrol akun media sosial, bahkan sampai menyadap gawai putra-putri mereka. Tindakan seperti itu tidak sepenuhnya bisa menjamin dan melindungi seorang anak dari dampak buruk globalisasi, pada sebagian anak mungkin dapat berhasil, tetapi mungkin tidak pada sebagian yang lain.
Tindakan yang dilakukan oleh orang tua sebagaimana di atas, merupakan salah satu upaya untuk melindungi putra-putri mereka, walaupun terkadang tindakan para orang tua tersebut justru menjadikan seorang anak terkekang. Para orang tua sadar akan dampak buruk globalisasi yang benar-benar nyata seperti yang terjadi saat ini. Merosotnya akhlaq, pergaulan bebas, gangguan kejiwaan sang anak akibat penggunaan gawai merupakan hal yang paling ditakuti oleh para orang tua.
Lalu bagaimana kita sebagai seorang santri yang notabene juga merupakan seorang anak dalam menyikapi globalisasi? Haruskah kita menutup diri dari globalisasi atau tetap mengikuti alur globalisasi?
Seorang santri berbeda dengan pelajar pada umumnya. Para santri dididik agar memiliki kemuliaan akhlaq, baik melalui pembiasaan sehari-hari maupun melalui kajian berbagai ilmu agama selama mukim di pesantren. Disini keteladanan para ustadz sangat ditekankan, bahkan segala peraturan yang dirumuskan di pesantren semata-mata hanya untuk membentuk karakter religius santri agar mereka memiliki kekokohan ilmu serta keluhuran akhlaq. Tidak hanya itu, di beberapa pesantren para santri juga dibiasakan berpikir saintifik, logis, dan filosofis dalam setiap aktifitas pembelajaran, seperti di SMA Trensains Tebuireng Jombang, sehingga baik kompetensi agama maupun umum dapat dikuasai dengan baik oleh para santri.
Disisi yang lain, sebagai seorang santri diharapkan bisa terjun di masyarakat, tidak hanya untuk berdakwah, tetapi juga menyebarkan kebaikan-kebaikan yang mereka dapatkan melalui riset, kajian-kajian ilmiah, kajian sains, dan bahkan riset-riset yang berkaitan dengan sains kealaman lainnya. Jika seorang santri menutup diri dari globalisasi maka proses terjun ke masyarakat akan menjadi sulit, karena masyarakat yang kita hadapi bukan hanya yang berada di sekitar kita, tetapi sudah merambah sampai tingkat internasional dengan adanya kemajuan teknologi saat ini.
Disini seorang santri bisa menggunakan kecanggihan teknologi untuk melakukan dakwah dan menyebarkan kebaikan-kebaikan lainnya dalam rangka untuk mewujudkan karakter religius ditengah masyarakat. Namun dalam memanfaatkan perkembangan teknologi, seorang santri harus pandai menentukan sikap, karena seorang santri adalah anak dari orang tua yang tentu setiap orang tua memiliki harapan besar terhadap putra-putrinya. Sikap yang bisa kita ambil sebagai seorang santri adalah dengan meningkatkan kesadaran diri, menyaring (mengambil yang baik dan menjahui yang buruk), tetap mengedepankan akhlaq sebagaimana akhlaq Rosulullah SAW terutama dalam pergaulan baik di dunia nyata maupun di dunia digital.
Terkadang seorang santri yang juga merangkap peran sebagai seorang anak dalam keluarga acap kali merasa lelah dengan keproktektifan orang tua mereka, hal yang bisa dilakukan oleh seorang santri apabila berada pada posisi seperti ini adalah dengan melakukan dialog dengan orang tua mereka, agar tidak terjadi kesalahpahaman anak terhadap orang tua, dan tetap mengedepankan nilai-nilai pesantren dalam mensikapi segala hal. Dengan demikian, tindakan yang terbaik bagi seorang santri adalah menghadapi dengan baik era globalisasi ini, mengambil yang baik dan membuang yang buruk dalam rangka meningkatkan kompetensi diri dan dalam rangka menyebarkan kebaikan-kebaikan sebagaimana yang diajarkan di pesantren.