Kontributor: Arina
Apa rahasia yang dimiliki malam? Adakah pesan tersirat dibalik keberadaan malam? Prof. Agus Purwanto kembali memukau para santri dalam kuliah umum 'Ngaji Ayat-Ayat Semesta' pada Senin malam Selasa, 10 Oktober 2021. "Wa billaili afala ta'qilun?" adalah ayat yang diungkapkan di awal kuliah umum. Ayat tersebut seakan bertanya, 'apakah kalian tidak memikirkan malam?'
Prof. Agus Purwanto memulai pembahasan dengan membacakan surat Al Qasas ayat 71 yang menyatakan bahwa intensitas cahaya dari suatu sumber cahaya bersifat lokal, tidak dapat menyinari benda yang jauh. Hal tersebut dirumuskan dalam rumus inverse square law yang menyatakan bahwa intensitas suatu cahaya pada objek berbanding tebalik dengan kuadrat jarak objek dari sumber cahaya. Maka tak heran jika bumi mengalami siang dan malam, namun Neptunus tidak akan mengalami siang karena intensitas cahaya matahari yang sampai sangat sedikit.
Dalam kuliah umum kali ini Prof. Agus Purwanto kembali mengajak santrinya menggunakan nalar untuk berpikir kritis. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa di luar angkasa menunjukkan distribusi bintang bintang bersifat homogen yaitu tersebar merata. Dengan menganut prinsip massa jenis, kerapatan bintang dapat diketahui dengan membagi jumlah bintang dengan volume alam semesta, atau untuk mengetahui jumlah bintang di alam semesta adalah dengan mengalihkan kerapatan bintang di alam semesta dengan volume alam semesta. Oleh karena itu, intensitas cahaya yang dapat sampai ke Bumi bergantung pada jumlah bintang yang ada di alam semesta. Rumus volume alam semesta yang dianggap bola adalah 4πr^2d, sehingga d atau jarak alam semesta merupakan aspek penting dalam menentukan intensitas cahaya yang sampai ke bumi. Dalam kata lain, intensitas cahaya berbanding lurus dengan jarak alam semesta.
Jika kita menganggap bahwa alam semesta tidak terbatas atau bahwa jarak alam semesta adala infinite, maka intensitas cahaya yang diterima bumi tentu juga bernilai infinite. Dalam kata lain, Bumi akan terus menerus mengalami terang. Namun kenyataannya, Bumi juga mengalami malam, tidak senantiasa siang. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa d atau jarak alam semesta tidak bernilai infinite.
Dengan ini, kita dapat menjawab perdebatan yang sering diajukan ilmuwan ilmuwan zaman dulu, 'apakah alam semesta itu qadim atau baru (memiliki awal dan akhir)?' Jawabannya dapat kita temukan dengan mengamati dan memikirkan malam yang menunjukkan bahwa alam semesta terbatas dalam ruang dan waktu.