Kafa menangis tertahan. Sementara, teman-temannya berseru, tertawa, beberapa diam memperhatikan, beberapa lagi memilih acuh.
Sisa air comberan menetes dari ujung rambutnya, bersamaan dengan air matanya yang yang jatuh. Tangisnya menderas, menangisi nasibnya yang amat naas.
Pikiran itu terlintas lagi, “Tuhan, dosa masa lalu apa yang telah memperburuk sehingga kau menghukumku sedemikian rupa?”
Tidak pernah ada jawaban, selain teman-temannya yang masih terus menertawakannya yang terduduk payah dengan badan basah kuyup.
***
Entah karena sebab apa Kafa tak pernah tahu mengapa ia jadi korban bully seperti ini. Ia sudah pindah sekolah sebanyak tiga kali setelah dua tahun ia duduk di sekolah menengah. Dengan alas an kepindahan yang sama, pembully-an. Ia tak pernah mengerti, padahal dulu di sekolah dasar, nasibnya tak pernah seburuk ini.
Hingga di suatu pagi yang membosankan, saat pelajaran Biologi, Kafa kebagian tugas presentasi sebuah makalah. Seperti dugaanyya, tak ada yang menyimak.
Kecuali satu anak laki-laki di ujung sana. Akhi, begitulah mereka memanggilnya. Hanya dia seorang yang menyimak. Tatapannya datar, Kafa seperti pernah melihat garis wajah si anak itu. Tapi di mana?
“Kamu itu presentasi atau kumur-kumur?” seorang temannya berteriak dari barisan tengah.
Seisi kelas yang sebelumnya acuh, menjadi ramai dengan gelak tawa. Kafa menghela nafas, menatap si lelaki pojokan, Akhi, yang diam tak bergeming.
Pelajaran Biologi usai, tiba di pelajaran kedua, olahraga. Semua tampak baik-baik saja saat mereka bermain kasti dan regu Kafa kebagian jaga.
Semua tampak normal sampai tim lawan memukul bola dan Kafa mengejarnya. Sampai salah seorang temannya menjegal kakinya. Sontak, ia pun terjatuh dan teguling di panasnya rumput pagi itu. Lantas, semuanya senyap kemudian tanpa ada aba-aba, satu lapangan terpingkal, tertawa mengejek Kafa yang tersungkur sendirian di lapangan. Tak ada yang menolong.
Bertepatan denga itu, bel istirahat berbunyi. Satu per satu teman Kafa pergi meninggalkan lapangan dan dirinya sendirian di sana.
Terkecuali satu orang…
“Kaf..”
Suara itu terngiang berulang kali di telinga Kafa. Suara yang tak asing di memorinya, namun ia tak ingat siapa si empu suara.
“Kafa, ini Akhi. Kamu nggak apa-apa?”
Kafa terdiam, bukankah ini kali pertama ia berbicara dengan Akhi, si pendiam di pojok kelas itu. Kafa masih memilih diam, pun saat Akhi menyentuh pundaknya sambil bertanya berulang apakah dirinya baik-baik saja. Tapi dia seperti tak sanggup untuk bicara. Kemudia, ia tak ingat apapun setelahnya.
Ia sempurna terbangun setelah Akhi memanggil namanya beberapa kali dan menyodorkannya segelas teh panas. Rupanya dia sedang berada di ruang UKS. Ia menerima the dari Akhi dan meneguknya beberapa kali.
“Kaf…” Akhi memanggilnya, “People said life is like a wheel. Hidup itu kayak roda. Tidak selamanya kamu ada di atas, tidak selamanya pula kamu ada di bawah. Sekarang, semua orang berpikir bahwa kamu sedang berada di bawah. Tapi kamu pasti pernah ada di atas, kan? Jadi, Kaf, apa saja yang telah kamu perbuat saat kamu ada di atas, sehingga kamu sekarang seperti ini?”
Mendadak lidah Kafa terasa kelu. The yang tadi ia sesap mendadak terasa pahit. Kepalanya menjadi pening. Kepingan memori-memori layaknya puzzle berputar di otaknya. Cerita berpindah pada kejadian bertahun-tahun silam.
***
“Cowok cengeng! Gitu doing masa nangis!” Kafa berteriak sambil tertawa keras. Seorang bocah laki-laki Sembilan tahunan terduduk payah, menangis di hadapannya.
Sekelas bersorak, memandang rendah si bocah yang semakin terisak.
Potongan demi potonga terputar dengan jelas. Kepala Kafa semakin pening. Puluhan memori yang mati-matian ia pendam selama delapan tahun terakhir saling berebut memaksa untuk diputar di kepalanya.
“Balikin sepatuku,” si bocah lelaki merengek cempreng.
Kafa tertawa, “Makanya tinggi!”. Teman-teman yang lain tertawa menyaksikan si bocah yang melompat-lompat berusaha menggapai sepatunya yang sengaja digantung Kafa di pintu. Suara tawa dan rengekan si bocah lelaki perlahan memudar seiring dengan munculnya memori lain.
***
Kafa melangkah ringan sambil menenteng sebuah kresek putih yang penuh dengan ciki-ciki. Ia bersenandung kecil, sesekali bersiul kecil, puas sehabis mengerjai si bocah lelaki yang sampai saat ini menjadi ‘bahan’ bully-nya dengan menyembunyikan buku tugas Matematikanya, sehingga membuatnya di-setrap oleh guru.
Ia berbelok ke arah kamar mandi, mendadak kebelet pipis. Fokusnya terbuyar seketika saat telinganya mendengar suara orang yang terisak di kamar mandi.kafa mengernyit,merapatkan telinganya ke dinding kamar mandi. Suaranya semakin lama semakin keras.Ia yang semakin penasaran mencoba mengintip sedikit dari luar. Detik berikutnya ia terkejut pada apa yang telah dilihatnya.
Si bocah lelaki yang kerap ia usili itu, tengah terisak hebat di dalam sana. Tangan kirinya terlihat berdarah, tergores oleh benda tajam yang ia pegang di tangan kanannya. Kafa membekap mulutnya. Dia benar-benar terkejut si bocah melakukan hal itu. Kafa tak sadar bahwa perbuatannya berakibat fatal bagi si bocah itu.
Lalu Kafa benar-benar tak ingat apapun setelah itu. Sedikitpun dia tak ingat mengenai nasib bocah tersebut selanjutnya.
***
Kafa tersadar, nafasnya tersengal. Akhi berdiri di sampingnya, memanggil namanya berulang.
Kafa terdiam, menatap Akhi lamat-lamat. Akhi, remaja laki-laki yang tengah kebingungan itu, ia seperti pernah melihatnya sebelum ini. Tapi, di mana?
Kafa terenyak, buru-buru ia meraih lengan Akhi, menyingkap lengan kausnya. Seketika itu, mulutnya menganga.
Lengan Akhi penuh dengan luka sayat. Akhi, kaukah si bocah laki-laki itu? Batin Kafa.
“Ada apa, Kaf? Kau menginat sesuatu?”
Kafa membeku.
Akhi menarik tangannya, menggulung lengan kausnya kembali. “Iya, Kafa. Aku bocah cengeng yang delapan tahun yang lalu sering kau usili itu. Aku masih mengingatnya, Kaf. Semuanya. Bagaimana kau bisa melupakan semua itu?”
“…”
Akhi tersenyum getir. “Wajar kau lupa, Kaf. Kau menganggap semua yang kau lakukan padaku sepele, kan? Karena setelah itu aku pindah sekolah. Berkali-kali. Aku berusaha untuk tidak mengingat hal itu lagi. Tapi aku selalu gagal, Kaf. Aku hidup dalam ketakutan, asal kau tahu.”
Kafa masih membisu.
“Tapi aku tidak pernah membencimu. Tidak pernah menyalahkanmu. Aku membenci diriku sendiri. Aku yang salah karena pernah lahir di dunia ini.”
“Akhi…”
“Kau tahu, Kaf, bahkan setelah aku pindah ke sini karena papa pindah tugas ke kota ini, aku tetap belum bisa melupakan semuanya tentang delapan tahun yang lalu itu. Aku malah bertemu denganmu. Tapi, kau rupanya tak mengingatku.”
Kafa masih setia terdiam. Tidak tahu harus merespon apa.
“Tapi ini bukan salahmu, Kaf. Tidak apa-apa. Meski aku belum melupakan itu, tapi kata orang, bukankah lebih baik menerima sebuah sakit ketimbang melupakannya? Kaf, life is like a wheel. Tidak selamanya aku di bawah, dan tidak selamanya kau di atas.”
Akhi tersenyum, melangkah meninggalkan Kafa yang masih saja terdiam sendirian di ranjang UKS. Itu adalah senyum terakhir Akhi, karena esok hari, Kafa tak pernah melihatnya lagi. Tak ada kabar sama sekali. Akhi bagai lenyap ditelan bumi, dan Kafa belum pernah sempat meminta maaf padanya.
***
Karya Diany Wira Cahyaning Wulan (santriwati XI Sains 5) dan Nadwa Salma Munir (XII Sains 5)