Di era 5G ini rintangan yang menghadang bumi pesantren kian bertambah tiap harinya. Dari mulai asatid, santri, karyawan hingga satpam; masing-masing individu memperoleh fragmen yang berbeda dalam menghadapi modernisasi. Rantai tersebut seolah menjadi pilar bangunan pesantren. Ibarat kita adalah satu tubuh, jika salah satu organ bermasalah, maka dapat berakibat pada organ lainnya. Pesantren juga menerapkan prinsip tersebut yang menyebabkan seluruh aturan diberlakukan tanpa pandang bulu. Ketika ada penyelewengan yang dilakukan oleh seseorang, dapat berdampak pada seluruh warga pesantren, termasuk dalam hal menyikapi media sosial. Belakangan ini sedang marak diperbincangkan tentang Indonesia yang menjadi warganet atau netizen paling tidak sopan se-Asia Tenggara. Microsoft mengumumkan tingkat kesopanan pengguna internet sepanjang tahun 2020 dalam laporan yang berjudul Digital Civility Index (DCI), Indonesia berada di urutan ke-29 dari 32 negara yang disurvei untuk tingkat kesopanan, sekaligus menjadi yang terendah di Asia Tenggara.
Hal tersebut dapat menjadi sasaran utama santri dalam rangka “berjihad” di era digital seperti sekarang ini. Media sosial kerap menjadi musuh besar di kalangan masyarakat, terutama dalam ordinal santri. Selain itu, media sosial dapat menjadi adimarga dakwah yang terhubung dengan cepat ke seluruh penggunanya. Peluang seperti ini harus dimanfaatkan sebaik mungkin oleh generasi emas bangsa, khususnya oleh santri. Dimulai dari mengurangi cyber bullying, munculnya media dakwah digital hingga majalah online. Media sosial dapat mempermudah proses dakwah yang dilakukan secara transparan oleh santri melalui platform digital yang beredar. Perlahan namun pasti, media sosial tak lagi menjadi akar dari korban kekejaman mental, namun juga dapat menjadi wadah aspirasi kebaikan untuk masyarakat.
Berbicara soal santri, memang kebanyakan orang berpikir bahwa santri tidak memiliki pengetahuan mendalam tentang dunia elektronik. Tetapi sejatinya, santri selalu memiliki cara untuk meretas segala kemajuan teknologi di luar sana. Meskipun aktivitas dakwah masih marak dilakukan lewat tatap muka, kesempatan unjuk diri di era digital tidak disia-siakan begitu saja oleh santri. Contohnya adalah akun instagram Tebuireng yang memuat berbagai informasi seputar Islam. Tidak hanya informasi mendalam tentang pesantren, namun juga pemahaman dasar tentang Islam yang kondusif dan efisien. Banyak perdebatan yang berlangsung antara pesantren modern dengan pesantren salaf. Pesantren modern dianggap “keluar” dari ruh dunia pesantren, sedangkan pesantren salaf dianggap membatasi diri dan menjaga jarak dari masyarakat luar. Kesalahpahaman seperti ini menimbulkan hoaks yang gencar termakan netizen sehingga muncul oknum yang menyiasati agar pondok tidak diminati lagi. Perihal tersebut memicu aura rivalitas terhadap pesantren-pesantren besar di seluruh penjuru negeri. Alhasil, masyarakat mulai meyadari bahwa technophobia menjadi satu diantara teka-teki persoalan santri selama ini.
Stagnasi kapabilitas santri yang dianggap tidak mengikuti perkembangan dunia, menyebabkan tak sedikit santri remaja yang merasa kurang berintegrasi dengan teknologi. Antusiasme dalam berdigitalisasi yang terlalu tinggi ditambah dengan dilema akan komentar buruk orang lain membuat banyak santri membiarkan diri mereka terlena dalam dunia maya. Kondisi seperti ini adalah hal yang tidak diharapkan terjadi di kalangan santri, bahkan ada kalanya sikap santri terlalu mengadaptasi dunia luar. Meskipun begitu, tidak banyak orang luar yang mengetahui komplikasi ini, mayoritas masyarakat meyakini bahwa naluri santri sudah terikat oleh ruh pesantren. Jadi, ketika terdapat problematika tentang perilaku santri yang tidak sesuai dengan pandangan masyarakat selama ini, yang perlu diketahui selalu loyal validitas, dapat menyebabkan perspektif masyarakat terhadap pesantren berubah.
Jika demikian, tidak sedikit orang akan mengecam pendidikan pesantren yang dianggap mengecewakan masyarakat. Seorang santri sudah seharusnya mampu merangkul lingkungannya dengan berbekal ilmu yang telah dipelajarinya selama di pesantren. Perdebatan tentang pesantren yang lebih baik akan mengambang kembali ke permukaan dan membuat pesantren modern dianggap menjatuhkan nilai–nilai dasar pesantren. Begitu juga dengan pesantren salaf yang tidak dapat dianotasi. Antara salah dan benarnya, bergantung pada hakikat seorang santri dalam menuntut ilmu. Permasalahan dunia luar tersebut tidak terlalu dipikirkan oleh pesantren. hal yang terpenting kebijakan di dalam pondok sudah terlaksana, baru kemudian pesantren memberi komentar seputar permasalahan yang bersifat umum.
Kendala-kendala yang menyangkut dunia luar inilah yang semakin memperlihatkan jarak di antara masyarakat dengan pesantren. Salah satunya adalah kondisi internal pesantren. Pola pikir kalangan pesantren harus dirubah terlebih dahulu mengenai dakwah di media digital. Hal tersebut dikarenakan intensitas orang zaman sekarang lebih banyak di dunia maya. Ketika fenomena ini tidak diperhatikan dengan serius dan pandangan kita hanya terfokus pada aktivitas pesantren yang lebih banyak menggunakan metode konvensional, maka masyarakat (luar pesantren) yang haus akan kajian keagamaan tidak dapat terpuaskan akibat keterbatasan ruang, berbeda ketika melalui media sosial, di mana ruang dan waktu tidak lagi terbatas.
Namun, sebelum tampil di media sosial, sudah menjadi tugas bersama untuk kita (kalangan pesantren) lebih menghidupkan ruang digitalisme dan mampu menguasai pengelolaan media. Lalu kita juga harus menguasai keilmuan pesantren termasuk ilmu agama, artinya jika seorang santri belum matang dalam mencari ilmu, maka tidak mudah untuk tampil di depan publik. Ilmu yang diperoleh dianggap belum memenuhi standarisasi sebagai pendakwah. Tetapi, belakangan ini ada perkembangan dari generasi muda zaman sekarang yang sudah berani tampil di depan layar seperti Youtube, Instagram, dan media sosial lainnya.
Terlepas dari itu, media sosial memiliki keterbatasan jangkauan internet khususnya di daerah pelosok. Hal ini menyulitkan santri untuk mengunggah video seputar kajian Islam yang sedang aktual. Namun tidak dipungkiri bahwasanya faktor penghambat bagi santri adalah minimnya perangkat untuk produksi konten. Santri juga sulit untuk memanejemen waktunya yang terikat dengan kegiatan pesantren. Oleh Karena itu, perlu kebijakan khusus agar santri-santri ini memiliki waktu cukup untuk belajar memproduksi konten-konten dakwah, pengajian, maupun info-info terkait perkembangan dunia Islam.
Nah, dalam menghadapi segala macam pembaruan dan kemewahan zaman ini, para santri tidak hanya beradaptasi atau menyesuaikan diri, tetapi juga harus berintegrasi dengan hal-hal baru tersebut agar tidak hanyut oleh arus modernisasi. Kebiasaan beradaptasi hanya akan membuat santri latah terhadap sesuatu yang baru, seakan-akan ia hanya menjadi peranti modernisasi. Ketika santri mulai membaurkan diri, mereka tidak hanya akan menghadapi ganasnya media sosial, tetapi juga dapat memanfaatkannya sebagai sarana penyaluran gagasan atau bahkan penularan nilai-nilai sosial yang bercorak pesantren ke ranah masyarakat luas.
Arus globalisasi dengan segala macam produknya akibat eskalasi di bidang IPTEK berpengaruh besar terhadap kehidupan di muka bumi ini. Begitupun dengan perkembangan teknologi dalam bidang komunikasi, serangan yang diluncurkan sangat berakibat fatal bagi masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, maraknya media sosial tidak bisa diabaikan begitu saja oleh pesantren, Salah satu unsur utamanya adalah santri, yang mana memang diharuskan berkecimpung di tengah masyarakat. Santri harus bisa tanggap terhadap perubahan yang signifikan. Maka dengan terpaksa atau tidak, seluruh elemen pesantren harus beradaptasi sekaligus membaurkan diri terhadap maraknya media sosial. Sedangkan langkah konkrit yang bisa dilakukan adalah penyuluhan kepada santri tentang seluk beluk media sosial dilihat dari seluruh aspek yang mendukungnya, ketahanan mental individual setiap santri dalam menggunakan media tersebut, serta dibentuknya suatu organisasi khusus yang menampung santri sebagai wadah untuk menyalurkan aspirasi mereka dalam digitalisme yang tetap berada dalam orbit keislaman.
Oleh: Nadia Jihan (siswi kelas 11 Sains 4)